SAI ANTARA SHAFA DAN MARWA
A. Hukumnya
Para ulama terbagi menjadi tiga kelompok dalam menyikapi hukum sai antara Shafa dan Marwa.
Ibnu Umar, Jabir, dan Aisyah-dari kalangan sahabat Malik, Syafi’i, dan Ahmad-dalam salah satu riwayat darinya mengatakan, sai adalah salah satu rukun haji, itu berarti, ibadah haji orang yang tidak melakukan sai antara Shafa dan Marwa batal dan tidak bisa diganti oleh denda atau lainnya. Di antara dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan Muslim dari Aisyah, “Rasulullah dan umat Islam telah sai-antara Shafa dan Marwa-sehingga dia adalah sunah. Demi Allah, Allah tidak menyempurnakan haji orang yang tidak sai antara Shafa dan Marwa.”
Sementara Ibnu Abbas, Anas, Ibnu Zubair, Ibnu Sirin, dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya mengatakan, hukum sai adalah sunah, dan tak ada kewajiban apa-apa karena meninggalkannya. Mereka berhujah dengan firman Allah yang berbunyi,
“Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya.” (Al-Baqarah: 158), penafian dosa dari pelakunya adalah bukti bahwa sai tidak wajib. Ini adalah tingkatan mubah, dan kesunnahannya didasarkan pada firman Allah, “Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian dari syiar Allah” (Al-Baqarah: 158).
Sedang Abu Hanifah, Tsauri, dan Hasan menyatakan, sai adalah wajib, dan bukan rukun yang bisa membatalkan haji atau umrah karena tidak dikerjakan, hal yang wajib bagi orang yang meninggalkannya hanyalah denda, dan penulis Al-Mughni mengunggulkan pendapat ini.
B. Syaratnya
Syarat-syarat sah sai adalah sebagai berikut: Dilakukan sesudah tawaf dikerjakan sebanyak tujuh kali, dimulai dari Shafa dan diakhiri di Marwa, dan harus dilakukan di “Mas’a” (jalan yang terbentang antara Shafa dan Marwa) karena Rasulullah telah melakukannya dan karena beliau telah bersabda “Pelajarilah manasikmu dariku.” (HR Muslim).
C. Naik ke atas Shafa dan Marwa
Tidak disyaratkan naik ke Shafa dan Marwa untuk sahnya sai, namun jalan yang ada di antara keduanya wajib dijangkau, dan caranya adalah dengan melekatkan kaki pada keduanya saat pulang dan pergi, dan bila ia tidak menjangkau salah satu bagian keduanya, sainya tidak sah dan dia wajib dijangkau.
D. Berurutan dalam mengerjakan sai
Berurutan tidak disyaratkan dalam sai, kalau ada suatu penghalang yang menghalangi orang yang sai untuk meneruskan sainya, atau karena iqamat shalat sudah dikumandangkan, dia diizinkan menghentikan sainya karena penghalang tersebut. Setelah penghalang yang menghalanginya hilang, ia bisa langsung meneruskan sainya dan menyempurnakannya. “Ibnu Umar mengerjakan sai antara Shafa dan Marwa, lalu ia ingin buang air kecil. Ia minggir dan buang air, kemudian ia meminta air dan berwudhu, lalu ia bangkit dan menyempurnakan sai yang telah dikerjakannya.” (Diriwayatkan Said bin Manshur). Berurutan juga tidak disyaratkan antara tawaf dan sai, penulis Al-Mughni mengatakan, “Ahmad mengatakan, “Tidak ada larangan untuk menunda sai karena ingin istirahat, atau hingga sore hari.”
E. Bersuci untuk mengerjakan sai
Mayoritas ahli ilmu berpendapat, tidak disyaratkan bersuci untuk mengerjakan sai antara Shafa dan Marwa. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah kepada Aisyah, “Kerjakanlah apa-apa yang dikerjakan orang yang sedang menunaikan ibadah haji, tapi Jangan lakukan tawaf sebelum kamu mandi.” (HR Muslim).
F. Berjalan dan naik kendaraan ketika mengerjakan sai
Sai boleh dikerjakan dengan naik kendaraan atau jalan kaki, namun berjalan kaki lebih utama. Hadits Ibnu Abbas menunjukkan, pada awalnya Rasulullah mengerjakan sai dengan berjalan, tapi ketika orang-orang mulai banyak dan mengerumuninya, beliau naik kendaraan supaya mereka bisa melihat dan bertanya kepada beliau.
Sekalipun diperbolehkan, hukum naik kendaraan adalah makruh. Tirmidzi mengatakan, “Sekelompok ahli ilmu telah memakruhkan tawaf dan sai dengan naik kendaraan, kecuali ada uzur, dan ini adalah pendapat Syafi’i.” Mazhab Maliki berpendapat lain, mereka mengatakan, “Orang yang mengerjakan sai dengan naik kendaraan tanpa uzur wajib mengulangnya bila memang masih ada waktu, dan bila ternyata waktunya sudah habis, ia wajib membayar denda, karena hukum berjalan kaki saat mampu adalah wajib atasnya.” Demikian pula pendapat Abu Hanifah.
G. Sunah berlari-lari kecil di antara dua mil
Berjalan kaki biasa disunahkan antara Shafa dan Marwa, kecuali di antara dua mil. Yang disunahkan di sana ialah berlari-lari kecil. Sunah ini hanya berlaku untuk kaum pria saja, sedang kaum wanita tak disunahkan melakukannya. Justru berjalan kaki biasa-lah yang disunahkan untuk mereka. Syafi’i meriwayatkan, “Ketika melihat kaum wanita berlari-lari kecil, Aisyah menanyai mereka, “Mengapa kalian tidak menjadikan kami teladan? Kalian tidak boleh berlari-lari kecil.”
H. Sunah naik ke Shafa dan Marwa dan berdoa sambil menghadap Ka’bah
Sunah naik ke Shafa dan Marwa lalu berdoa meminta kebaikan dunia dan akhirat sambil menghadap Ka’bah. Riwayat yang diketahui dari Rasulullah adalah beliau keluar dari pintu Shafa, dan sesudah ada di dekat Shafa beliau membaca,
“Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian dari syiar Allah” (Al-Baqarah: 158) dan mengatakan, “Aku memulai dengan sesuatu yang digunakan Allah memulai (Shafa).” Rasulullah memulai dari Shafa, lalu naik ke atasnya hingga melihat Ka’bah, beliau lantas menghadap ke arahnya, dan meneruskannya dengan membaca tahlil, takbir dan tahmid, masing-masing sebanyak tiga kali, lalu beliau membaca: la ilaha illallah wahdahu la syarika lah, lahul mulk wa lahul hamd, yuhyi wa yumit, wa huwa ‘ala kulli sya’i qadir, la ilaha illallah wahdah, anjaza wa’dahu wa nasara ‘abdahu wa hazamal ahzaba wahdah (tidak ada Ilah Selain Allah semata, Dia tidak punya satu pun sekutu, hanya milik-Nya semua kekuasaan dan hanya milik-Nya segala pujian, Dia Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu, tidak ada Ilah selain Allah semata, Dia menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya dan mengalahkan berbagai macam golongan sendirian), kemudian beliau berdoa dan membaca lagi doa tadi sebanyak tiga kali, beliau lantas turun dengan berjalan kaki dan naik, ke atas Marwa hingga bisa melihat Baitullah.
Di atas Marwa beliau melakukan hal serupa seperti yang beliau lakukan di atas Shafa. Disunahkan berdoa di antara Shafa dan Marwa, zikrullah dan membaca Al-Qur’an. Seorang yang ihram bertahallul dengan memotong dan mencukur rambut jika ia memilih haji tamattu’, dan ia tetap dalam ihramnya jika ia memilih haji qiran, dan ia hanya bisa bertahallul pada hari raya Idul Adha, dan sai ini menggugurkan kewajiban sai sesudah tawaf wajib jika ia memilih haji qiran. Namun ia harus mengerjakan tawaf lagi sesudah tawaf ifadhah jika ia memilih haji tamattu’.
I. Pergi ke Mina
Termasuk sunah, pergi ke Mina pada hari Tarwiyah. Jika seseorang melakukan haji giran atau haji ifrad, dia pergi ke sana dengan ihramnya. Namun, jika ia adalah orang yang memilih haji tamattu’, ia meniatkan haji dan mengerjakan seperti yang dikerjakannya di miqat. Tindakan yarg sesuai dengan sunah adalah ihram dari tempatnya singgah, bila ia ada di Mekkah ia ihram darinya, dan kalau ia ada di luarnya ia ihram dari tempat singgahnya. Disunahkan memperbanyak doa dan talbiyah ketika pergi ke Mina dan saat mengerjakan shalat Zuhur, shalat Asar, shalat magrib, shalat Isya’, dan menginap di sana.
Seorang yang menunaikan haji tidak boleh meninggalkannya hingga matahari terbit pada tanggal 9 Dzul Hijjah demi meneladani Nabi. Bila is meninggalkan keseluruhannya atau sebagiannya, ia telah meninggalkan sunah, tapi tidak berkewajiban melakukan apa-apa, karena Aisyah tidak keluar dari Mekkah pada hari Tarwiyah hingga malam telah berlalu sepertiganya, hal ini diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir.
J. Pergi ke Arafah
Disunahkan pergi ke Arafah lewat jalan Dhab setelah matahari terbit pada tanggal 9 Dzul Hijjah dengan membaca takbir, tahlil dan talbiyah, serta disunahkan pula singgah dan mandi di Namirah untuk persiapan wukuf di Arafah.
Dikutip dari Buku: Ringkasan Fiqih Sunnah
Penulis: Sulaiman bin Ahmad bin Yahya Al-Faifi.
Cetakan: Ketiga
Penerbit: Beirut Publishing
Halaman: 401-408