IKUTI
MELEMPAR JAMRAH

MELEMPAR JAMRAH

Oleh : Marcoumrah - Kategori : Artikel
9
Mar 2021

MELEMPAR JAMRAH
A. Hukumnya
Mayoritas ulama berpendapat, melempar jamrah adalah wajib haji, bukan rukunnya, dan orang yang meninggalkannya wajib membayar denda. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Muslim dari Jabir, “Aku melihat Nabi melempar jamrah di atas kendaraannya di hari raya Idul Adha sembari mengatakan, ‘Pelajarilah manasikmu dariku, karena aku tak tahu, mungkin aku tak bisa menunaikan haji lagi sesudah hajiku yang ini,” dan hadits yang diriwayatkan Abdurrahman At-Taimi, “Rasulullah menyuruh kami melempar jamrah dengan kerikil sebesar biji kacang di haji wada’” (HR Thabrani dalam Al-Kabir).
B. Besar dan jenis kerikil yang dipakai melempar jamrah
Dalam hadits di atas disebutkan, kerikil yang digunakan melempar jamrah adalah kerikil yang besarnya sama dengan biji kacang. Oleh sebab itu, ahli ilmu menyunahkannya, dan bila ternyata kerikil yang dipakai lebih besar darinya, mayoritas ulama menyatakan keabsahannya, kendati tetap makruh.Namun, Ahmad berpendapat lain, dia menganggapnya tidak sah, kecuali bila yang dipakai adalah kerikil sebesar itu, karena Nabi telah melakukannya dengan kerikil sebesar itu dan beliau juga telah melarang menggunakan yang lainnya. Mayoritas ulama juga sepakat menyatakan, melempar jamrah hanya sah dengan batu, dan tidak sah bila dilakukan dengan besi, peluru, atau benda-benda lainnya. Tapi, mazhab Hanafi berbeda pendapat dengan mereka, mereka membolehkan melempar jamrah dengan seluruh benda yang berasal dari tanah, seperti batu, lumpur, batu bata, tanah dan tembikar, namun pendapat pertama lebih diunggulkan.
C. Dari mana kerikil itu diambil?
Ibnu Umar mengambil kerikil dari Muzdalifah, Said bin Jubair juga melakukan hal yang sama dan mengatakan, “Orang-orang sebelum ini membawa kerikil darinya.” Syafi’i menyunahkannya, sementara Ahmad mengatakan, “Ambil kerikil dari tempat mana saja kamu mau,” dan ini adalah pendapat Atha’ dan Ibnul Mundzir. Melempar jamrah dengan kerikil yang diambil dari tempat pelemparan jamrah adalah sesuatu yang diperbolehkan, namun hukumnya makruh menurut mazhab Hanafi, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hanbali, sementara Ibnu Hazm menyatakan kebolehannya tanpa memakruhkannya.
D. Jumlah kerikil yang digunakan melempar
Jumlah kerikil yang digunakan melempar adalah tujuh puluh atau empat puluh sembilan, tujuh dilempar pada hari raya Idul Adha di jamrah aqabah, dua puluh satu dilempar pada tanggal 11 di ketiga jamrah: tiap-tiap jamrah menghabiskan dua puluh satu kerikil, jumlah kerikil yang sama dilempar pada tanggal 12, demikian juga pada tanggal 13. Dengan demikian, jumlah kerikil yang dilempar adalah tujuh puluh. Melempar jamrah hanya pada hari raya Idul Adha dan dua hari setelahnya, tanpa tanggal 13, adalah sesuatu yang diperbolehkan, sehingga jumlah kerikil yang dilempar adalah empat puluh sembilan.
E. Waktu melempar Jamrah
Waktu melempar jamrah adalah selama tiga atau empat hari; hari raya Idul Adha ditambah dua atau tiga hari sesudahnya. Allah berfirman,
“Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang. Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya” (Al-Baqarah: 203).
F. Melempar jamrah di hari raya Idul Adha
Waktu paling afdhal untuk melempar jamrah di hari raya Idul Adha adalah pada waktu Dhuha setelah matahari terbit. Karena, Rasulullah telah melempar jamrah pada waktu Dhuha di hari tersebut. Diperbolehkan juga bila ditunda hingga akhir hari itu. Ibnu Abbas menuturkan, “Seorang pria menanyai Nabi di Mina di hari raya Idul Adha, “Aku melempar jamrah di sore hari?’ Beliau menjawab, “Tak apa-apa” (HR Bukhari). Apabila ada uzur yang menghalangi melempar jamrah di siang hari, maka boleh ditunda hingga malam hari. Namun, bila tak ada uzur, hukum menunda adalah makruh, tapi orang yang melakukannya tidak wajib membayar denda menurut mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i serta salah satu riwayat dari Malik berdasarkan hadits Ibnu Abbas di atas.
G. Keringanan untuk orang-orang lemah dan orang-orang yang punya uzur untuk melempar jamrah sesudah tengah malam hari raya Idul Adha

Berdasarkan ijmak, seseorang tidak boleh melempar jamrah sebelum tengah malam terakhir. Namun, kaum wanita, anak-anak, orang-orang lemah, orang. orang yang memiliki uzur, dan para penggembala unta diizinkan melempar jamrah aqabah pada tengah malam hari raya Idul Adha. Aisyah menuturkan, “Nabi mengirim Ummu Salamah pada malam hari raya Idul Adha, lalu dia melempar jamrah sebelum fajar dan langsung meninggalkan tempat melempar jamrah itu“ (HR Abu Dawud dan Baihaqi, dan dia mengatakan, “Sanadnya shahih dan tidak mengandung cacat sedikit pun.”)
H. Melempar jamrah pada tiga hari yang pertama

Waktu yang paling afdhal untuk melempar jamrah pada “tiga hari yang pertama” (hari raya Idul Adha dan dua hari sesudahnya) dimulai sejak tergelincirnya matahari hingga terbenamnya. Ibnu Abbas menuturkan, “Nabi melempar jamrah saat matahari tergelincir atau sesudahnya.” (HR Ahmad dan perawi lainnya), dan bila ditunda hingga malam hari, hukumnya makruh. Sedangkan melempar jamrah di malam hari bisa dilakukan hingga terbitnya matahari hari berikutnya. Ini adalah sesuatu yang disepakati oleh para imam mazhab, selain Abu Hanifah, dia membolehkan melemparkan jamrah pada hari ketiga sebelum tergelincirnya matahari berdasarkan sebuah hadits dha’if.
I. Berdiri dan berdoa sesudah melempar jamrah di hari-hari tasyrik
Orang yang telah selesai melempar jamrah disunahkan berdiri menghadap kiblat untuk berdoa kepada Allah, memuji-Nya, dan meminta ampun kepadaNya untuk dirinya dan saudara-saudaranya sesama orang beriman. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya, “Bila melempar jamrah ula yang ada di dekat masjid, Rasulullah melemparnya sebanyak tujuh kali sambil membaca takbir pada setiap lemparan yang dilakukannya. Kemudian beliau bergeser ke sebelah kiri ke tengah lembah dan berdiri menghadap kiblat sambil menengadahkan kedua tangannya untuk berdoa. Beliau berdiri cukup lama, kemudian beliau melempar Jamrah wustha sebanyak tujuh kali sambil membaca takbir pada setiap lemparan yang dilakukannya, lalu beliau pergi dan tidak berdiri lagi.”
J. Urutan jamrah
Riwayat yang shahih dari Rasulullah menyebutkan, beliau memulai dengan melempar jamrah ula yang ada di dekat Mina, kemudian jamrah wustha yang ada di dekatnya, lalu jamrah aqabah. Telah diriwayatkan juga secara shahih bahwa beliau bersabda, “Pelajarilah manasikmu dariku,” dan dalam hadits Jabir dalam riwayat Muslim disebutkan, “Rasulullah membaca takbir setiapkali melakukan lemparan.” Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari mengatakan, “Para ulama sepakat menyatakan, orang yang tidak membaca takbir tak berkewajiban apa-apa.”
K. Menyuruh orang lain melempar jamrah
Orang yang punya uzur, seperti sakit dan sejenisnya, hingga tidak bisa melempar jamrah sendiri, harus mencari wakil untuk melemparnya. Jabir menuturkan, “Kami menunaikan haji bersama Rasulullah, kaum wanita dan anak-anak, kami kemudian mewakili anak-anak membaca talbiyah dan melempar jamrah.” (HR Ibnu Majah).

Dikutip dari Buku: Ringkasan Fiqih Sunnah
Penulis: Sulaiman bin Ahmad bin Yahya Al-Faifi.
Cetakan: Ketiga
Penerbit: Beirut Publishing
Halaman: 410-413

Alamat

Head Office

Jl. Jend. Basuki Rachmat No.15, RT.1/RW.9, Rw. Bunga, Jatinegara, Jakarta Timur, Jakarta 13350


Kantor Cabang Bogor

Jl. Kapt. Yusuf No 61 Kel. Sukamantri Kec. Tamansari Kab. Bogor Kode Pos 16610

Kontak Admin:

081212111260

Rekening Pembayaran

Pembayaran yang SAH hanya melalui rekening atas nama PT. Marco Tour Travel sebagai berikut:

  • Bank Syariah Indonesia (BSI): 7075341398 (IDR)
  • Bank Mandiri: 006.0077907792 (IDR)