HAJI
A. Defisini
Pergi ke Mekkah untuk menunaikan tawaf, sai, wukuf di Arafah, dan seluruh amalan haji lain untuk melaksanakan perintah Allah dan mencari ridha-Nya, Haji adalah salah satu rukun Islam yang lima, dan salah satu kewajiban agama yang telah diketahui secara terang oleh semua orang. Karena itu, Orang yang mengingkarinya dihukumi sebagai orang kafir dan murtad.
Pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama tentang tahun diwajibkannya ibadah haji adalah tahun 6 Hijriyah.
B. Keutamaannya
Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ditanya, ‘Amal apa yang paling utama?’ Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Lalu? Jihad di jalan Allah.’ “Kemudian? Haji mabrur” (Muttafaqun ‘alaih).
C. Riwayat yang menyebutkan bahwa haji adalah jihad
Aisyah radhiyallaahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, kami tahu bahwa jihad adalah amalan yang paling utama. Mengapa Anda tidak mengizinkan kami berjihad?’ Beliau menjawab, ‘Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur.” (HR Bukhari dan Muslim).
D. Riwayat yang menyebutkan bahwa haji adalah penghapus dosa
Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah shalallaahu alaihi wasallam bersabda, Orang haji yang tidak berkata jorok dan tidak berbuat fasik akan pulang ke rumahnya seperti saat ia dilahirkan ibunya.” (HR Bukhari dan Muslim)
E. Riwayat yang menyebutkan bahwa orang haji adalah tamu Allah
Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, Orang haji dan orang umrah adalah tamu Allah, bila mereka berdoa kepada-Nya Dia mengabulkannya dan jika mereka meminta ampun kepada-Nya Dia mengampuninya.” (HR Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban dalam Shahih mereka).
F. Riwayat yang menyebutkan bahwa pahala haji adalah surga
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, “Rasulullah shallallaahu ‘anhu bersabda, “Umrah yang satu dengan umrah yang lain adalah penghapus dosa yang ada di antara keduanya, dan pahala haji mabrur adalah surga.”
G. Haji hanya wajib sekali seumur hidup
Para ulama sepakat menyatakan, haji tidak wajib diulang dan hanya wajib sekali seumur hidup. Kecuali jika seseorang bernazar haji maka ia wajib menunaikan nazarnya. Haji yang lebih dari sekali adalah haji sunah.
Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda dalam salah satu khotbahnya di hadapan kami, “Hai sekalian manusia, Allah telah mewajibkan haji kepada kalian maka laksanakanlah.’ Seseorang bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah setiap tahun?’ Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam diam hingga orang itu mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau bersabda, Kalau saja aku menjawab dengan “iya” tentu haji akan diwajibkan seperti itu, dan kalian pasti tidak akan mampu.’ Lalu beliau menambahkan, Jangan tanyakan apa yang aku sampaikan kepada kalian, sebab hal yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah terlalu banyak bertanya dan terlalu sering membantah nabinabinya. Bila aku menyuruh kalian melakukan sesuatu, lakukanlah semampu kalian, dan jika aku melarang kalian mengerjakan sesuatu, tinggalkanlah.” (HR Bukhari dan Muslim).
H. Apakah haji adalah kewajiban yang harus segera dilaksanakan atau boleh ditunda?
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, sebagian ulama mazhab Syafi’i, dan Abu Yusuf berpendapat, haji adalah kewajiban yang harus segera dilaksanakan. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi, “Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, “Orang yang ingin menunaikan ibadah haji hendaklah segera melaksanakannya, karena bisa jadi ia akan jatuh sakit, kendaraannya akan tersesat, atau keperluannya makin menumpuk.” (HR Ahmad dan perawi lainnya).
Sementara Syafi’i, Tsauri, dan Muhammad bin Hasan mengatakan, kewajiban haji adalah kewajiban yang boleh ditunda, dan itu berarti, seseorang yang berkewajiban melakukannya boleh melaksanakannya kapan saja ia mau selama ia masih hidup.
I. Syarat wajib haji
Seluruh ahli fikih bersepakat bahwa syarat wajib haji adalah: Islam, baligh, berakal, merdeka, dan mampu.
J. Kapan Istilah “mampu” bisa diberlakukan?
Istilah “mampu” bisa diberlakukan bila hal-hal di bawah ini terwujud:
1. Orang yang berkewajiban haji punya tubuh yang sehat. Oleh sebab itu, jika ia tidak mampu mengerjakan haji karena usia yang sudah tua, penyakit menahun, atau penyakit yang tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya, ia wajib mewakilkan hajinya kepada orang lain kalau saja ia memang punya harta.
2. Jalan yang akan dilalui orang yang akan menunaikan ibadah haji harus aman dan tidak membahayakan keselamatan nyawa dan hartanya.
3,4. Memiliki bekal dan kendaraan, sementara orang dekat yang bisa sampai ke tempat pelaksanaan haji hanya dengan berjalan kaki tidak harus punya kendaraan.
5. Tidak ada penghalang yang menghalangi untuk mengerjakannya, seperti Pemenjaraan dan rasa takut pada penguasa zalim yang menghalangi orang-orang yang mau mengerjakannya.
K. Haji anak-anak dan budak
Anak-anak dan budak tidak berkewajiban mengerjakan ibadah haji, namun jika mereka mengerjakannya hajinya tetap sah, pun begitu, ia tetap tidak bisa menggugurkan kewajiban haji ketika mereka sudah dewasa atau merdeka.
Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Anak kecil yang telah mengerjakan haji kemudian ia memasuki usia dewasa tetap berkewajiban mengerjakan ibadah haji lagi, dan budak yang sudah mengerjakan haji kemudian ia dimerdekakan tetap berkewajiban menunaikan ibadah haji lagi.” (HR Thabrani dengan sanad shahih).
Seorang anak yang sudah memasuki usia tamyiz wajib melakukan ihram dan seluruh amalan haji yang lain sendirian, tapi jika ia belum memasuki usia baligh, maka walinya-lah yang mewakilinya melakukan ihram, talbiyah, tawaf, sai, wukuf, dan melempar jamrah, dan kalau ia telah baligh sebelum melakukan wukuf, maka hajinya ini menggugurkan kewajiban hajinya di usia dewasa. Demikian pula seorang budak yang dimerdekakan sesaat sebelum ia melakukannya.
L. Kewajiban haji atas kaum wanita
Kaum wanita juga diwajibkan berhaji sebagaimana kaum pria -tanpa perbedaan apapun- selama syarat-syarat wajibnya yang telah disebutkan sebelum ini telah terpenuhi, ditambah satu syarat lagi, yakni, ditemani seorang mahram atau suami.
Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu menuturkan, “Suatu hari aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Seorang laki-laki dan seorang perempuan tidak boleh berduaan kecuali dengan mahram, dan seorang wanita tidak boleh bepergian melainkan dengan mahram.’ Seorang pria lantas berdiri dan mengatakan, ‘Ya Rasulullah, istriku akan pergi menunaikan ibadah haji sementara aku harus ikut perang anu dan anu.’ Beliau bersabda, Pulang dan temanilah istrimu menunaikan ibadah haji.” (HR Bukhari dan Muslim, dan ini adalah redaksi Muslim).
Seorang wanita yang melanggar peraturan ini dan menunaikan haji tanpa ditemani mahram, hajinya tetap sah (namun dia berdosa jika safar tanpa mahram).
M. Izin seorang istri dari suaminya
Seorang istri disunahkan meminta izin kepada suaminya untuk mengerjakan haji wajib: jika ia mengizinkannya ia berangkat, dan bila ia tidak mengizinkannya ia juga tetap berangkat, sebab seorang suami tak punya hak untuk melarang istrinya mengerjakan haji wajib, karena dia adalah ibadah yang wajib ia laksanakan dan tak ada keharusan menaati makhluk bila ia menyebabkan kemaksiatan terhadap Al-Khaliq.
Selain itu, istrinya juga wajib bersegera melaksanakannya untuk menggugurkan kewajibannya.
Hak yang sama diperoleh seorang wanita dalam melaksanakan haji nazar, karena hukumnya juga wajib seperti haji wajib. Adapun bila haji yang akan dilakukannya adalah haji sunah, suaminya berhak untuk melarangnya.
N. Orang mati tapi punya tanggungan melakukan Ibadah haji
Wali orang mati yang punya tanggungan ibadah haji, baik haji wajib atau haji nazar, wajib mewakilkannya kepada orang lain dengan cara mengambil sebagian harta warisannya, sebagaimana ia juga berkewajiban membayar hutangnya.
Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu bercerita, “Seorang wanita Juhainah datang menghadap Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dan mengadu, “Ibuku telah bernazar untuk mengerjakan ibadah haji, namun ia keburu meninggal sebelum sempat melaksanakannya. Apakah aku harus mewakilinya?’ Beliau menjawab, ‘Ya. Wakililah dia. Bila Ibumu punya utang apakah kamu akan membayarnya? Bayarlah utang kepada Allah, karena Allah adalah Zat yang paling layak dibayar piutang-Nya.” (HR Bukhari).
Hadits di atas adalah dalil atas wajibnya melakukan ibadah haji untuk Orang yang sudah meninggal, baik dia mewasiatkannya atau tidak. Sebab, utang wajib dilunasi walaupun dia diwasiatkan atau tidak, demikian juga seluruh kewajiban harta, seperti kafarat, zakat dan nazar.
O. Menghajikan orang lain
Orang yang berkewajiban menunaikan ibadah haji namun tidak bisa melakukannya karena alasan sakit atau usia tua wajib menyuruh orang lain untuk mewakilinya, karena dia tidak mampu melaksanakannya sendiri lantara, lemah. Dengan demikian, dia sama seperti orang yang sudah meninggal yang harus diwakili oleh orang lain.
Hal ini juga didasarkan pada hadits Fadhl bin Abbas radhiyallaahu ‘anhu yang berbunyi “Seorang wanita dari Khats’am mengadu, ‘Ya Rasulullah, bapakku berkewajiban menunaikan ibadah haji ketika usianya sudah sangat tua dan dia juga tidak kuat lama-lama duduk di atas kendaraannya. Apakah aku harus mewakilinya?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya.” dan peristiwa ini terjadi di haji wada’.” (HR Jamaah, dan Tirmidzi, dia mengatakan, “Ini hadits hasan shahih”).
Hadits di atas juga menjadi dalil bolehnya seorang wanita mewakili seorang Pria dan seorang wanita dalam mengerjakan ibadah haji, dan seorang Pria diizinkan menghajikan seorang pria dan seorang wanita, selain itu, tidak ada satu pun nash yang bertentangan dengan pendapat ini.
P. Ketika orang sakit sehat kembali
Orang sakit yang sembuh setelah dihajikan orang lain tidak berkewajiban mengulangnya lagi, agar tidak ada dua haji wajib. Ini adalah pendapat mazhab Ahmad. Namun, mayoritas ulama berpendapat lain, mereka mengatakan, ia harus mengulanginya lagi, sebab telah jelas bahwa ia masih bisa sembuh, dan kondisi yang menjadi ukuran gugurnya kewajiban melakukan ibadah haji sendirian ialah tidak adanya kemungkinan sembuh. Tapi, Ibnu Hazm mengunggulkan pendapat pertama.
Q. Syarat orang yang menghajikan orang lain
Orang yang menghajikan orang lain harus sudah pernah menunaikannya untuk dirinya sendiri. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi, “Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam mendengar seorang berseru, ‘Aku menunaikan haji atas nama Syubrumah.’ Maka beliau menanyainya, Apakah kamu sudah pernah menunaikan ibadah haji?” Dia menjawab, ‘Belum.” Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Tunaikanlah haji untuk dirimu sendiri, lalu tunaikanlah untuk Syubrumah.” (HR Abu Dawud dan perawi lainnya).
R. orang yang menunaikan haji nazar padahal dia punya kewajiban mengerjakan haji wajib
Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu dan Ikrimah memfatwakan, haji nazar yang dikerjakan orang yang belum mengerjakan haji wajib menggugurkan kedua jenis haji ini. Sementara, Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhu dan Atha’ mengatakan, orang yang seperti ini harus mengerjakan haji wajib dulu, baru melakukan haji nazar.
S. Berutang untuk haji
Abdullah bin Abi Aufa radhiyallaahu ‘anhu menuturkan, “Aku menanyai Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam tentang seseorang yang belum menunaikan haji, “Apakah ia boleh berutang untuk melakukannya?’ Beliau menjawab, “Tidak.’ (HR Baihaqi).
T. Haji dengan harta haram
Haji tetap sah sekalipun dengan harta haram, namun pelakunya berdosa, menurut mayoritas ulama, namun Imam Ahmad mengatakan, hajinya tidak sah, dan ini adalah pendapat yang paling benar berdasarkan sebuah hadits shahih, “Allah Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik.”
U. Mana yang lebih afdhal: haji dengan naik kendaraan atau haji dengan berjalan kaki?
Mayoritas ulama mengatakan, naik kendaraan lebih utama, karena itulah yang pernah dilakukan Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam karena dia bisa membuat pelakunya lebih khusyuk dalam berdoa dan mengiba, dan karena dia lebih banyak mengandung kemaslahatan.
Sedang Ishaq bin Rahawaih berpendapat, berjalan kaki lebih afdhal, karena ia mengandung kelelahan.
Pendapat ketiga mungkin juga bisa dikemukakan, dimana masalah ini tergantung pada perbedaan kondisi dan pelaku.
V. Mencari uang dan berbisnis ketika mengerjakan ibadah haji
Orang yang sedang mengerjakan ibadah haji tidak dilarang mencari uang dan berbisnis.
Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu menceritakan, “Di awal-awal ibadah haji dilakukan, Orang-orang sama melakukan transaksi jual-beli di Mina, Arafah, pasar Dzil Majaz dan tempat-tempat keramaian haji lainnya, namun kemudian mereka merasa takut untuk melakukannya, maka Allah Ta’ala menurunkan ayat:
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu.’ (Al-Baqarah: 198)” (HR Bukhari dan Muslim).
Dikutip dari Buku: Ringkasan Fiqih Sunnah
Penulis: Sulaiman bin Ahmad bin Yahya Al-Faifi.
Cetakan: Ketiga
Penerbit: Beirut Publishing
Halaman: 368-374
www.inilahfikih.com